Description
Mau ikut?” teriak seorang pemuda ke arah saya, di atas kebisingan deru mesin bus kota yang saya tumpangi. “Ke tempat terbaik di Indonesia. O tidak, ke tempat terbaik di dunia! Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa di sana, dan apa saja yang ingin kamu punya, ada di sana.”
Roanne van Voorst, seorang antropolog yang meneliti tentang respons manusia terhadap banjir, memutuskan mengikuti anak muda itu dan tiba di salah satu kampung kumuh termiskin di Jakarta. Dia menetap di sana lebih dari setahun, di sebuah rumah dari papan dan asbes. Semakin lama dia semakin mengenal tetangganya dan keadaan hidup mereka: kemelaratan luar biasa, ancaman penggusuran karena pemukiman itu ilegal, dan terutama pergulatan mereka dengan banjir dari sungai yang sangat tercemar. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, penghuni pemukiman kumuh ini menemukan cara-cara yang efisien, kerap inovatif dan kreatif, yang mereka ajarkan kepada “anak angkat” mereka yang baru. Dengan informatif, intim, dan penuh humor, Roanne van Voorst memberikan wawasan unik tentang kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras, tetapi pantang menyerah.
Buku ini mematahkan prasangka negatif dari para pejabat dan kelas menengah atas Indonesia yang cenderung mencap penghuni kampung kumuh sebagai kriminal dan pemalas, sekaligus juga praduga positif dari sebagian aktivis dan peneliti yang kerap memandang persoalan riil kemiskinan secara romantik.
“Van Voorst memiliki keberanian untuk melangkah masuk ke dalam kehidupan keras orang-orang termiskin di Jakarta. Lewat pandangan matanya kita mengikuti pergulatan mereka untuk bertahan hidup. Sarat dengan derita tapi kadang juga meninggalkan tawa.” — Step Vaessen, koresponden Al Jazeera di Jakarta
“Hanya orang yang mencintai Indonesia bisa menggambarkannya seperti Roanne van Voorst—modern sekaligus absurd. Tempat Terbaik di Dunia adalah potret kehidupan sebuah kampung kumuh yang menakjubkan dan begitu menyentuh.” — Gustaaf Peek, novelis, pengarang Dover
chare.imagio (verified owner) –
Tikus pengen bikin tempat fitness. Ia bilang hampir semua peralatan sudah siap. Bagaimana mungkin orang melarat seperti Tikus bisa beli alat fitness? Ternyata oh ternyata… Alat-alat fitness-nya bukan yang harganya jutaan itu, tapi tong karatan yang diisi pasir, ban sepeda, serta batu bata diikat kabel.
“Bentuknya memang beda, tapi cara kerjanya sama,” ujar Tikus.
Saya ketawa sampai lama saat membaca bagian ini. Imajinasi Tikus terasa canggih sekali. Saya seperti digiring kembali ke masa kanak-kanak yang penuh kejutan. Tapi itu hanya satu di antara sekian banyak cara-cara canggih warga bantaran kali agar bisa hidup lebih bahagia.
***
Cuma butuh waktu satu hari bagi saya untuk menyelesaikan buku ini. Karena, buku ini memang menarik, ditulis dengan gaya populer, penuh humor, dan informatif.
Tidak pernah terbayangkan bagi saya bagaimana rasanya tinggal di bantaran kali. Tapi penulis buku ini dengan berani masuk ke dalam kerasnya kehidupan orang-orang pinggiran ibukota.
Roanne van Voorst, seorang antropolog asal Belanda, tinggal di pemukiman kumuh bantaran kali di Jakarta selama satu tahun. Ia meneliti respon manusia terhadap banjir untuk keperluan studi doktoral.
Roanne tidak menyebutkan dengan jelas dimana dan kapan penelitian itu dilakukan. Tapi, kemungkinan besar di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Kampung Pulo digusur pada Agustus 2015 semasa pemerintahan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pengalaman Roanne selama satu tahun hidup di sana menunjukkan bahwa warga bantaran kali hanyalah orang-orang biasa, dengan beragam persoalan hidupnya. Tidak seburuk anggapan para pejabat atau politisi, tapi juga tidak sepositif teori para ahli sosial yang kelewat romantik.
Meski begitu Roanne mencatat, kerapkali warga bantaran kali tidak mendapat kesempatan yang sama dalam masyarakat.
Roanne mengkritisi banyak hal lewat buku ini. Antara lain, perihal tidak adanya sistem peringatan dini saat banjir, tingginya angka kebakaran di kampung kumuh, kemelaratan luar biasa, pelayanan kesehatan yang diskriminatif, ancaman penggusuran, kurangnya hunian terjangkau untuk warga miskin, serta maraknya korupsi di Indonesia.
“Korupsi menurut yang saya tahu sekarang, sebetulnya bagi kebanyakan orang Indonesia adalah sebuah cara agar urusan mereka terselesaikan, strategi yang sangat dibutuhkan di sebuah negara yang tidak berfungsi optimal.” -hlm 94.
Sebuah negara yang tidak berfungsi optimal! Duh. Lagi-lagi saya ketawa.
Instagram @tukangmoco
tukangmoco.wordpress.com