Sehari-hari bergelut dengan penyuntingan naskah dan tetek-bengek penerbitan tentu bisa bikin suntuk, yang untungnya bisa diobati selain dengan makan-makan, halan-halan, drakor, dan main games, yaitu dengan buku-buku bagus dari penerbit lain!
Berikut bacaan kesukaan tim Marjin Kiri tahun ini, dengan ketentuan masing-masing orang memilih dan menulis tentang dua buku terbitan tahun kapan saja yang dibaca tahun ini, dan tentunya bukan terbitan kami sendiri.
Muhammad Iqbal (redaksi)
Secondhand Time: The Last of the Soviets (Random House, 2016) karya Svetlana Alexievich, terjemahan Inggris oleh Bela Shayevich.
Buku laporan jurnalistik yang ciamik ini mensurvei kehidupan masyarakat Rusia dan bekas Uni Soviet mulai dari teror Stalinis era 1930an, pada hari-hari perestroika yang memabukkan, hingga munculnya oligarki dan awal supremasi Vladimir Putin. Ratusan suara dan kenangan itu dengan cerkas dan hati-hati dijahit oleh Alexievich dalam struktur buku ini, secara silih berganti, inspiratif, membuat buku bulu rona bergidik, dan begitu memilukan. Karya ini menjadi contoh yang indah dari kreativitas seorang sejarawan lisan. Ia menjadi panorama memori nan luas, tetapi tetap terstruktur, adil, dan proporsional. Kita seperti membaca versi non-fiksi dari War and Peace, mahakarya Leo Tolstoy.
The Vegetarian (Penerbit Baca, 2017) karya Han Kan, terjemahan Indonesia oleh Dwita Rizkia.
Novel karya penulis dari Korea Selatan ini berkisah ihwal seorang perempuan berumah tangga yang suatu hari karena terbangun dari mimpi buruknya tiba-tiba berubah menjadi seorang vegetarian. Perubahan drastis ini mengagetkan suami dan keluarganya. Yeong-hye yang menjadi seorang vegan ini tak hanya ganjil dan mengerikan, tetapi kadang-kadang juga terlihat puitis, terutama saat ia merasa dirinya bukan lagi seorang manusia, melainkan sebatang pohon (atau mungkin tanaman). Metamorfosa Yeong-hye ialah bentuk putus asa usahanya dalam menekan kekerasan yang mungkin saja inheren pada jiwa manusia. Novel bernuansa gelap ini ditulis Han Kang dengan narasi rileks, tidak meletup-letup, cenderung pelan dan santai, tapi tanpa mengurangi intensitas yang ia bawa. Kita dibawa menelisik pelbagai keganjilan yang disimpan tokoh-tokohnya dan disembunyikan dari satu sama lain. Deskripsi Han Kang pada setiap situasi cerita, terutama kondisi psikologis karakter-karakternya, patut diberi takzim.
Roos Wijayanti Ken Petung (media sosial)
Rahasia Dapur Bahagia: Ensiklopedia Kuliner dalam Puisi (Gambang Buku Budaya, 2017) karya Hasta Indriyana.
Bukan pertama kali membaca nama-nama makanan menjadi puisi. Tapi di buku ini puisi-puisinya langsung membuat kita lapar. Lapar penasaran dengan deretan nama-nama makanan yang mungkin di tahun-tahun depan akan menjadi sejarah karena bergesernya selera para pengunyah Nusantara. Terbagi menjadi tiga segmen: Rahasia, Dapur dan, Bahagia; antar segmennya terjembatani dengan apik oleh sambal jagung sayur menir, sayur bening, papeda kuah kuning, lalap cambah telasih, belalang bacem, atau ikan gabus gebuk benar-benar membuat perut makin keroncongan saat membacanya. Sejatinya, bukan rahasia dapur lagi kalau manusia hidup untuk makan dan manusia makan untuk hidup. Dan berikut secuil cemilan kebahagiaan dari penulis di sebuah TEKO POCI.
Di pucuk lidah usia terasa berharga
Di pangkal kenangan kita merasa pernah ada.
Seorang Dokter Desa (Penerbit Oak, 2016) karya Franz Kafka, terjemahan Indonesia oleh Widya Mahardika Putra.
Gambar di sampul buku berupa makhluk gulungan benang ruwet yang berdiri dengan dua kaki langsung menarik mata. Berkenalan dengan Odradek, makhluk yang tertawanya seperti desir daun jatuh, sangat gesit dan tidak dapat ditangkap. Makhluk yang berada di cerita “Kekhawatiran Seorang Kepala Keluarga” ini sedikit membuat ngeri dan terbayang-bayang di kepala karena hobinya yang berkunjung ke rumah-rumah. Membaca 14 cerita Kafka ini cukup membuat geli, dahi berkerut, senyum simpul bahkan ngeri. Jangan berharap akan menemukan cerita-cerita pendek yang terstruktur menyenangkan dan mudah dimengerti. Ingat kekuatan Kafka adalah cerita-cerita absurd yang ternyata terasa kental di buku ini. Kafka punya makhluk-makhluk spesial ciptaannya sendiri, dia selalu menganggap dirinya adalah kurir pengantar pesan yang telah menempuh perjalanan berat untuk sampai ke pembaca yang dia sebut “seorang warga yang menyedihkan”. Jadi buat para calon warga yang menyedihkan, dan berani menyia-nyiakan waktunya, buku ini bagus sebagai media perkenalan dengan Franz Kafka.
Robby Kurniawan (pemasaran dan kerjasama)
Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah Kata Hati (Yayasan Obor Indonesia dan WALHI, 1994), karya Chico Mendes, terjemahan Indonesia oleh Joebar Ajub.
Perjuangan penyelamatan lingkungan dan kehidupan dari seorang penyadap getah karet (seringuerio) di Amazon melawan penguasaan hutan tempatnya hidup. Lahir dan besar di kawasan hutan Xapuri, Brasil pada 1944, Chico sudah menjadi buruh kebun di usia 9 tahun dan baru dapat membaca di usianya ke-20 karena adanya larangan pendirian sekolah di perkebunan. Berbekal ketekunan dan tekad kuat untuk melawan kelaliman, Chico mulai mengorganisirserikat buruh di kalangan seringuerio. Gerakan kolektif ini menuai respons besar di kalangan buruh dan membawa banyak perubahan di bidang pendidikan, ekonomi, dan upaya penyelamatan lingkungan Brasil. Pada 22 Desember 1988, Chico tewas dengan 60 peluru di tubuhnya.
Korupsi (Balai Pustaka, 2013 [1954]), karyaPramoedya Ananta Toer.
Novel klasik tentang dilema moral seorang Bakir yang bergaji kecil, berkutat dan gamang dengan kebutuhan hidup dan angan hedonismenya. Pram menggambarkan situasi yang universal dan terus relevan tentang segala jerih payah, nama baik, kenikmatan hidup, dan perang moral si tokoh.
Mia Fiona (media sosial)
Say You’re One of Them (Abacus, 2008), karya Uwem Akpan.
Beragam konflik dan masalah di Afrika—prostitusi anak, child trafficking, kemiskinan, konflik agama—yang disampaikan dari sudut pandang anak-anak. Saat kebobrokan kemanusiaan diceritakan dengan narasi indah, Uwem Akpan ingin agar dunia mendengar kisah-kisah kelam anak-anak ini. Depresif tapi harus dibaca.
Sang Pengoceh (Penerbit Oak, 2016), karya Mario Vargas Llosa, terjemahan Indonesia oleh Ronny Agustinus.
Sebagai keturunan etnis dari dataran tinggi di Sumatera Utara yang dulu mengalami “modernisasi” oleh para misionaris, sangat bisa merasakan hubungan dengan Mascarita di buku ini. Mengapa manusia selalu merasa perlu membuat standar kemudian “memaksa” orang lain menerima dan mengikutinya?
Muhammad Haikal (pemasaran)
Kambing dan Hujan (Bentang Pustaka, 2015), karya Mahfud Ikhwan.
Sebuah roman yang dengan elegan menghadirkan konflik lama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan balutan kisah persahabatan orangtua dan asmara anak-anak mereka. Narasi yang ditawarkan berhasil menjadikannya karya yang relevan bagi pembaca dalam memaknai ragam kultur Islam di negeri ini. Dengan epik pengarang tidak berlebihan dalam mengetengahkan konflik yang bersumber pada kedua orangtua muda-mudi yang menjadi tokoh utama. Bukan muda-mudi yang sedang dimabuk kasih yang menjadi pemeran utama, melainkan orangtua merekalah yang mengawali kisah panjang ini. Kredit tersendiri mesti disematkan kepada pengarang karena berhasil memberikan pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan mendasar yang sudah terjadi puluhan tahun beserta anasirnya yang kadang membuat pembaca tertegun, takjub, berdesir, dan bahkan gelak tawa.
Rumah Kopi Singa Tertawa (Penerbit Banana, 2017), karya Yusi Avianto Pareanom.
Edisi baru dari kumpulan cerita pendek yang terbit pada 2011. Buku ini dengan sangat baik berhasil menarasikan berbagai sudut pandang masing-masing tokoh yang renyah untuk dicerna. Kita dapat melihat bagaimana pengarang memiliki ketertarikan terhadap sebuah tempat yang dalam beberapa cerita coba dihadirkan, tempat itu bernama Karangapi. Di bagian lain kita disuguhkan sebuah keunikan sepasang cerita tentang seorang istri yang kehilangan suaminya, dan seorang suami yang juga kehilangan teman hidupnya di lain cerita. Ada kesamaan alur cerita yang menjadikannya salah dua cerita terbaik dalam buku ini. Dan yang paling membuat geleng-geleng kepala adalah cerita yang berisi obrolan “warung kopi” di mana tiap obrolan yang dinarasikan tidak memiliki kaitan di antara obrolan lainnya.
Ronny Agustinus (redaksi)
Che’s Afterlife: The Legacy of an Image (Vintage Books, 2009), karya Michael Casey.
Siapa tak kenal foto ikonik Che Guevara yang dijepret oleh Alberto Korda pada 1960, yang kemudian menjadi semacam template untuk direpro, dimodifikasi, dan diparodikan sampai saat ini atau lebih dari setengah abad sesudahnya (pernah kan lihat foto Che dengan muka Benyamin Sueb bahkan wayang Cepot?) Nah, buku reportase ini melacak bagaimana gambar tersebut berubah menjadi ikon, menelusuri pengaruh dan persebarannya ke seluruh dunia. Memikat, meski di sana-sini terasa kelewat panjang dan melelahkan, dan mungkin bagi para die-hards Castro, juga akan menjengkelkan. Casey menunjukkan bahwa ketika rezim Castro di dalam negeri mulai represif, gambar Che inilah yang dimanfaatkan oleh Castro untuk menjaga “citra internasional” Kuba tetap sebagai rezim progresif-demokratis.
Resep Membuat Jagat Raya (Kabarita, 2017), karya Abinaya Ghina Jamela.