Novelis Perantauan: Wawancara Luis Sepúlveda dengan Bernard Magnier

Sumber: UNESCO Courier, Januari 1998

Novelis kenamaan Cile Luis Sepúlveda adalah pembela kebebasan dan lingkungan hidup yang telah meng­alami ge­tirnya penjara dan pengasingan. Kepada Bernard Magnier, jurnalis Perancis spesialis sastra Afrika, Sepúlveda membahas soal pekerjaannya, di mana komitmen politik dan sema­ngat untuk menulis saling berkelindan.

 

Seperti apa masa kanak-kanak Anda?

Saya cukup beruntung memiliki masa kanak-kanak normal dalam sebuah keluarga yang dipenuhi semangat ingin tahu. Mereka memberi saya dorongan serta kesempatan untuk melanglang buana. Sejak usia 14 tahun saya biasa meng­habiskan musim liburan dengan berpergian keliling Cile (yang jauhnya 5.000 km dari utara ke selatan) serta ke negara-negara tetangga, Peru, Bolivia, Argentina, dan Uruguay.

 

Tentang pendidikan Anda?

Setamat sekolah menengah di Santiago, saya belajar teater di Universitas Nasional. Pada 1969 saya diberi beasis­wa lima tahun untuk melanjutkan sekolah drama saya di Uni­versitas Moskow, namun beasiswa itu dicabut setelah lima bulan akibat “kelakukan buruk”: saya berteman de­ngan be­berapa pembangkang yang pada hemat saya menghasilkan karya seni terbaik di Uni Soviet. Saya harus kembali ke Cile.

 

Bagaimana Anda bisa sampai menjadi penulis?

Lewat membaca, terutama penulis-penulis besar kisah pe­tualangan seperti Jules Verne, Jack London, dan Robert Louis Stevenson. Di rumah kami banyak membaca. Kakek saya, seorang anarkis Spanyol, mencintai buku-buku dan punya perpustakaan kecil. Saya kira dorongan untuk menu­lis datang akibat membaca Francisco Coloana, seorang penulis Cile.

 

Apa buku pertama Anda?

Kumpulan puisi anak muda yang buruk sekali, terbit tahun 1966. Saya takkan pernah menerbitkannya ulang. Saya terus menulis karena saya menggemarinya, namun tanpa meyakini diri saya sebagai penulis. Lantas pada suatu hari seorang teman mengumpulkan selusin cerpen saya ke da­lam satu buku, Crónicas de Pedro Nadie, dan mengirimkannya ke Kuba. Buku itu memenangi Hadian Casa de las Américas tahun 1969, lantas diterbitkan di Kolombia dan Argentina. Saya pun mulai dikenal di sepanjang Amerika Latin. Saya menjadi penulis karena keadaan! Saya juga menulis untuk teater dan radio, yang menurut saya merupakan ajang latih­an hebat bagi seorang penulis karena perlunya memenuhi tenggat waktu.

 

Anda mengemban peran politik pada saat yang sama …

Sembari menulis saya juga aktif berpolitik. Pertama sebagai ketua gerakan mahasiswa lalu dalam pemerintahan Salva­dor Allende, terutama di departemen kebudayaan. Saya ber­tindak sebagai mediator antara pemerintah dengan ­bisnis-bisnis besar, dan saya juga bekerja di departemen kebuda­yaan. Saya bertugas mengepalai penerbitan seri karya-karya klasik sastra dunia dalam edisi murah bagi masyarakat umum.

 

Lalu datang kudeta militer 1973 …

Dua setengah tahun saya dipenjara. Saya memperoleh pembebasan bersyarat lewat jerih payah Amnesty Inter­national cabang Jerman, namun tetap dikenai tahanan rumah. Saya berhasil lolos dan hidup di bawah tanah hampir selama se­tahun. Dengan bantuan seorang teman yang menjadi ketua Alliance Francaise di Valparaiso, saya ber­hasil mendapat kerja. Kami dirikan kelompok drama yang menjadi pusat budaya perlawanan pertama, namun saya ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas tindakan makar dan subversi. Akhirnya hukuman ini berkurang jadi 28 tahun, berkat pembela saya.

 

Kali ini Anda benar-benar dipenjara …

Tidak, sesungguhnya Amnesty International cabang Jerman sekali lagi campur tangan demi kepentingan saya dan hu­kuman penjara saya pun diubah jadi pengasingan delapan tahun. Maka pada 1977 saya tinggalkan penjara ke bandara untuk terbang ke Swedia, tempat saya akan meng­ajar sastra Spanyol. Di tempat pemberhentian pertama, Buenos Aires, saya berhasil kabur.

 

Dan itu awal pelarian panjang …

Ya, pertama saya pergi ke Uruguay. Namun banyak teman saya di sana, sama seperti di Argentina yang waktu itu di­perintah kediktatoran, sudah tewas atau dipenjara, maka saya pun hengkang ke Brasil, ke São Paulo, namun harus meninggalkannya untuk pergi ke Paraguay. Di sana saya juga tidak bisa tinggal karena rezim pemerintahannya. Dari situ saya berangkat ke Bolivia lalu ke Peru, dan akhirnya tinggal di Ekuador setelah teman baik saya, novelis dan pe­nyair Jorge Enrique Adoum, mengundang saya menghadiri pertemuan penulis Amerika Latin di sana. Di Quito saya menjadi direktur teater Alliance Francaise dan mendirikan sebuah kelompok teater. Lalu saya ambil bagian dalam ekspedisi UNESCO untuk mengkaji dampak kolonisasi terhadap suku Indian Shuar.

 

Pentingkah hal ini bagi Anda?

Luar biasa penting. Saya hidup di tengah orang Shuar se­lama tujuh bulan. Ini pengalaman menentukan yang meng­u­bah seluruh pandangan saya. Mendadak saya sadar apa arti sesungguhnya menjadi seorang Amerika Latin, menjadi bagian dari suatu benua multikultur, multibahasa (lebih dari 90 bahasa, belum termasuk Spanyol dan Portugis) yang punya konsepsinya sendiri mengenai waktu dan se­jarah, ritus-ritusnya sendiri. Saya menyadari bahwa Marx­isme-Leninisme yang saya akrabi bukanlah resep yang bisa dite­rapkan persis ke sebuah benua yang penduduknya ke­banyakan penduduk desa dan hubungannya sangat erat dengan ketergantungan dan perlindungan akan alam. Saya bekerja menggalang kontak dengan organisasi-organisasi Indian dan saya merancang rencana pelajaran membaca pertama untuk federasi tani Ibambura di Andes.

 

Lantas Anda pergi ke negara lain lagi …

Ya, tapi sepanjang waktu saya terus menulis cerpen dan be­rencana membuat karya-karya yang lebih panjang. Pada 1979 saya bergabung dengan brigade internasional Simón Bolívar yang sedang bertempur di Nikaragua. Segera sesudah kemenangan revolusi saya bekerja sebagai jurnalis yang melaporkan peristiwa-peristiwa internasional, tapi tahun berikutnya saya putuskan untuk meninggalkan Nikaragua dan berangkat ke Eropa.

 

Anda putuskan tinggal di Jerman. Apa pasalnya?

Saya pilih Hamburg sebagai basis saya sebab di penjara saya belajar bahasa Jerman karena terkagum-kagum akan sastra Jerman, terutama kaum romantik seperti Novalis dan Holderlin. Tanpa sastra romantik ini mustahil memahami sastra modern dan sastra Amerika Latin khususnya.

Saya juga punya hubungan emosional yang kuat de­ngan Hamburg: kota ini punya kaitan dengan Valparaiso sejak zaman pengarungan yang heroik itu. Selain itu, Hamburg adalah tempat konsentrasi media massa terbesar di Eropa, sehingga saya berkesempatan bekerja untuk me­dia cetak dan menulis untuk televisi. Saya melakukan banyak kerja jurnalistik, yang memberi saya peluang un­tuk berkelana ke mana-mana dan menghabisakan waktu di Amerika Latin dan Afrika.

Pada 1982 di Hamburglah saya pertama kali berhu­bungan dengan Greenpeace. Saya bergabung dengan perjuangan mereka demi lingkungan hidup. Selama lima ta­hun hingga 1987, saya menjadi awak kru di salah satu kapal mereka. Nantinya saya bertindak sebagai koordinator pelbagai cabang Greenpeace.

 

Di sela waktu itu, bagaimana penulisan Anda?

Saya tak pernah berhenti. Novel pertama saya, Un viejo que leía novelas de amor terbit pada 1989, disusul novel kedua, El mundo del fin del mundo. Sudah diterjemahkan ke banyak bahasa. Saya juga terus menulis buat teater.

 

Apakah tinggal di Eropa mengubah sikap Anda mengenai Ame­rika Latin? Anda merasa lebih renggang atau lebih dekat de­ngannya sekarang?

Saya merasa lebih Amerika Latin ketimbang saat saya se­dang berada di Amerika Latin. Tapi saya tidak beranggapan niscaya harus pergi ke Eropa untuk menulis sastra Amerika Latin. Saya bisa menulis di mana saja di dunia. Jarak, harus saya akui, memang punya keuntungan dalam menyuguh­kan cara pandang yang lebih panoramik mengenai benua tersebut dan realitas hidup di sana. Tantangannya dalam si­tuasi seperti ini adalah menjaga agar diri Anda selalu cukup in­formasi untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi dan penyebab terjadinya perubahan tersebut, yang saya lakukan dengan mudik ke sana setiap tahunnya (saya punya jaringan informasi yang luar biasa di kampung ha­laman da­lam bentuk teman-teman yang tinggal di sana). De­ngan be­gitu, waktu yang saya habiskan di Eropa meru­pa­kan kecelakaan yang rada menyenangkan dan bertahan tak lekang, yang tak pelak lagi telah meninggalkan jejaknya pada diri saya. Saya telanjur kuyup dalam kebudayaan Eropa.

 

Apakah pengaruh yang berbagai macam ini menyatu dalam suatu cara?

Sastra itu satu dan manunggal. Penulis yang berbeda meng­ambil jalan yang berbeda pula namun semuanya mengarah pada nasib yang sama. Sastra adalah persaudaraan yang he­bat. Jean-Marie Gustave Le Clézio misalnya, adalah penulis Eropa namun menghabiskan sebagian besar waktunya di Meksiko. Pandangannya sebegitu rupa sampai kita menganggapnya lebih sebagai seorang penulis Amerika Latin!

Amerika Latin adalah benua penuh kontradiksi dan perbedaan-perbedaan besar, tetapi dalam beberapa hal ia juga merupakan perpanjangan Eropa, sebuah benua ­imi­gran. Borges menyebut kami orang-orang Amerika Latin di kerucut selatan benua ini sebagai orang Eropa yang lahir di rantau. Cara hidup kami mengikuti model Eropa. Kami republik, kami memperjuangkan kemerdekaan dan ke­dau­latan politik kami yang dipolakan berdasarkan revolusi Pe­rancis, dan tokoh-tokoh besar peletak dasar kesusastraan modern kami, seperti Rubén Darío atau Vicente Huido­bro, tak pelak lagi sangat matang secara Eropa.

 

Apa yang membuat Anda menulis?

Saya menulis hanya karena suka menulis. Saya tidak ingin bekerja apa pun lainnya. Saya tinggalkan jurnalisme untuk membaktikan diri sepenuhnya pada sastra. Boleh jadi ini terdengar seperti jawaban seseorang yang hidup makmur atau malah seorang anarkis, tapi saya lakukan apa yang saya suka dan mencari nafkah dengan melakukannya.

Saya tidak memandang menulis sebagai rahmat dari para dewa, sebuah keistimewaan yang diberikan kepada kasta tertentu. Menulis itu pekerjaan! Saya tertawa kalau mendengar para penulis yang mengklaim mengalami ba­nyak penderitaan ketika menulis. Kalau mereka menderita begitu rupa, lalu buat apa mereka menulis—mereka toh tak perlu jadi masokis.

 

Apakah Anda banyak menggarap ulang buku-buku Anda?

Ya, banyak sekali. Saya seorang pekerja yang amat disiplin dan saya tidak memandangnya tamat kecuali saya sudah mengulanginya lagi paling tidak sepuluh kali dari awal sampai akhir.

 

Buku Anda pendek-pendek. Apakah pilihan ini sengaja? Adakah ritme yang merasa wajib Anda ikuti?

Panjang dan gaya itu bergantung pada kisah yang hendak Anda ceritakan. Saya pernah membuang 50 halaman salah satu novel saya karena merintangi, mengganggu alur yang hendak saya bubuhkan ke dalamnya.

 

Apakah kepedulian pada masalah lingkungan hidup menga­lahkan komitmen politik yang mencirikan begitu banyak pe­nulis Amerika Latin generasi sebelumnya?

Jalannya bergandengan. Sastra tidak bisa mengubah realitas, tapi sastra bisa mencerminkan –dan memberi cermin­an—pada aspek yang sangat penting darinya. Membangun kembali martabat ekologis adalah perjuangan yang sangat politik. Beberapa penulis zaman ini, seperti Paco Taibo atau Rolo Díez, sama kuat komitmen politiknya seperti para pendahulunya, namun mereka mendekati persoalan politik dari sudut ingatan sejarah, dengan merujuk pada apa yang telah terjadi dan apa yang tidak boleh dilupakan atau ber­ulang. Pendekatan mereka kritis, tapi bukannya tanpa gairah dan jauh dari militansi asal-asalan.

 

Geografi membalas dendam pada sejarah?

Balas dendam yang jauh lebih penting sekarang ini adalah bahwa tata dunia baru –meski sudah selesai dalam sengketa Timur-Baratnya—secara bertahap dan pasti sedang memperparah sengketa Utara-Selatan.

Amerika Latin adalah bagian dari Selatan. Kami sen­dirian, tapi mending sendirian ketimbang memiliki teman yang jahat. Sebuah proyek politik tidak bisa dibangun da­lam sehari. Konsepsi kami tentang waktu tak pelak lagi ber­beda dengan Utara, tapi kami punya waktu tersebut.

 

Anda menulis untuk melupakan barbarisme atau untuk mengu­tuknya?

Yang menjadi perhatian saya sebagai penulis adalah agar para pembaca mencapai kesimpulan yang sama seperti tokoh-tokoh saya, bahwa mereka harus mencermati apa yang terjadi pada dirinya dan berpikir. Saya menghargai ke­bebasan pembaca, dan saya sama sekali tidak berharap me­maksakan apa pun pada mereka. Yang saya tuju hanyalah memberi mereka bahan renungan, lantas membantu mereka menemukan aturan-aturan yang menata hubungan me­reka dengan orang lain, aturan-aturan untuk menghormati orang lain dengan budaya dan tradisinya, dan mempertajam kesadaran mereka akan orang lain, yang kebetulan juga merupakan tradisi penulisan kisah petualangan.

 

Bagaimana Anda menjelaskan keterpukauan Anda pada pengembaraan dan ekstrem-ekstrem alam bebas, laut selatan atau rimba Amazon?

Saya bukan orang kota. Saya suka menghabiskan sekian waktu di kota, tetapi saya perlu berhadapan tatap muka dengan kekuatan-kekuatan elementer alam bebas, untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa bertahan hidup mandiri, bergantung hanya pada diri sendiri, dan ju­ga membuktikan bahwa individu bisa hidup tanpa bergantung pada negara.

 

Atau pada orang lain?

Tidak, bukan pada orang lain. Kita selalu perlu orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, tapi mereka tidak semes­tinya terlibat dalam hubungan yang didasarkan pada ketergantungan atau dominasi.

 

Anda termasyhur secara internasional. Bagaimana hal itu memengaruhi Anda?

Sukses ini adalah kejutan yang menyenangkan, namun wa­tak saya tak berubah. Saya gembira punya kebebasan ber­gerak dan merdeka memutuskan apa yang hendak saya perbuat dengan waktu saya, namun hal ini terutama sekali me­rupakan tanggung jawab untuk dipikul. Saya meng­usung sikap etis sehubungan dengan hidup dan sikap artistik se­hubungan dengan sastra. Saya ingin perbedaan ini di­pahami, sehingga pembaca bisa berucap, “Aku suka buku-buku Sepúlveda tapi tidak sependapat dengan pandangannya” atau “Aku suka apa yang ia tulis, jadi aku ingin tahu pandangan-pandangannya.” Sastra adalah cara untuk mencapai tujuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *