Perpustakaan sebagai Metronom Ilmu Pengetahuan

[artikel ini ditulis oleh Muhammad Haikal, staf divisi pemasaran Marjin Kiri]

 

Di kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan informasi untuk saling berinteraksi. Informasi dibutuhkan untuk melakukan hubungan dengan berkomunikasi satu sama lain. Salah satu sumber manusia mendapatkan informasi ialah dengan mencarinya di perpustakaan. Kita mengenal perpustakaan sebagai penyimpan khazanah hasil pikiran manusia.[1] Khazanah pikiran manusia ini yang kemudian bertransformasi menjadi informasi-informasi yang tersebar luas bagi manusia lainnya melalui bentuk yang beraneka ragam seperti artikel, buku, jurnal, tulisan.

Dengan kebutuhan akan informasi ini posisi perpustakaan sebagai institusi penyimpan informasi menjadi krusial. Keberadaan perpustakaan diharapkan mampu mewujudkan relasi sosial antar umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan informasinya. Karena didalamnya, perpustakaan memelihara beragam infomasi yang dibutuhkan manusia untuk berinteraksi. Fenomena ini menegaskan bahwasannya keberadaan perpustakaan tidak bisa dilepaskan dari peredaran informasi. Sebab informasi adalah manifestasi peradaban manusia yang memiliki nilai kultural. Karena melalui informasi, nilai kebudayaan, kesejarahan, sosial, intelektual, ekonomi, dan lain sebagainya akan tercipta. Nilai-nilai tersebutlah yang dibutuhkan manusia untuk berinteraksi dalam kehidupan sosialnya.

Pada kenyataannya, manusia sebagai makhluk sosial diciptakan dengan kapasitas intelektual yang berbeda-beda, sehingga setiap individu akan memiliki kekurangan masing-masing dalam kadar intelektualitasnya. Kekayaan khazanah pengetahuan setiap individu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor – lingkungan tempat individu berkembang, kepercayaan yang dianutnya, dan bacaan yang ia dapatkan selama ia hidup. Dengan luasnya perbedaan yang terhimpun, maka akan menghasilkan berbagai pikiran kreatif yang mungkin hadir dari setiap individu di negeri ini. Berbagai pikiran berbeda inilah yang harus dilestarikan oleh perpustakaan. Sejatinya, dengan lahirnya perbedaan ini akan menjadi pengisi kekurangan intelektualitas manusia lainnya.

Dalam ranah sosial kultural, kita mengenal paham pluralisme dalam masyarakat kita. Secara teori, pluralisme adalah koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[2] Berdasarkan definisi tersebut pluralisme bisa diartikan sebagai pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya perbedaan dalam suatu kelompok masyarakat. Menerima pluralitas bukan berarti mencampur-adukkan sesuatu dimana kekhasan masing-masing menjadi lebur dan bahkan hilang. Tetapi justeru mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak sama namun hadir di waktu yang bersamaan. Di dalam pluralisme, kekhasan yang menjadi pembeda tetap ada dan tetap dipertahankan.

Asumsi tersebut menunjukkan bahwasannya informasi merupakan manifestasi pemikiran manusia yang bergantung dari kultur budaya, hasil bacaan, dan pengalaman selama seorang manusia hidup. Pengalaman empiris tersebut kemudian dituangkan ke dalam berbagai bentuk media penyimpanan informasi, sehingga ketika manusia lain menyerapnya akan menjadi sumber pengetahuan yang baru. Maka, dengan demikian, kita bisa berasumsi bahwa tidak akan ada informasi jika tidak ada manusia, dan manusia membutuhkan manusia lainnya untuk mendapatkan informasi. Karena informasi sedari fase penciptaannya sudah berasal dari akal benak manusia, maka secara tekstual memungkinkan terciptanya koherensi antara informasi dan manusia. Pada dasarnya manusia adalah pencipta informasi yang sekaligus menjadi pembawa dan penyebar informasi itu sendiri. Korelasi yang kuat antara informasi dan manusia adalah potret peradaban yang merupakan visualisasi dari sebuah era.

Setelah terciptanya koherensi pada informasi dan manusia, peneliti akan menggunakan satu instrumen yang sudah peneliti paparkan sebelumnya, yaitu pluralitas. Dengan mengaplikasikan konsep pluralisme pada unsur informasi, maka akan tercipta “informasi” yang memiliki value dan kedudukan yang sama dengan “manusia”. Tentu saja kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan sifat.

Pada contoh kasus masyarakat multikultural, manusia telah belajar untuk menerima perbedaan yang hadir di lingkungannya. Dengan menjadikan perbedaan sebagai bagian dari hidupnya, manusia berhasil hidup berdampingan satu sama lain walau memiliki perbedaan pandangan. Kemajemukan yang hadir dalam dunia informasi pun sejatinya adalah anugerah dan harus dimaknai dengan sikap terbuka. Karena dengan demikian kekurangan-kekurangan intelektualitas yang dialami setiap individu akan terpenuhi. Dan perpustakaan sebagai institusi yang inheren dengan dunia informasi harus mampu menjamin ketersediaan variasi-variasi tersebut. Keberagaman informasi yang tersaji di perpustakaan adalah keniscayaan menuju peningkatan intelektualitas pemustaka dan masyarakat. Selain itu dengan keberagaman informasi maka peradaban manusia akan terhindar dari librisida.[3]

Ilustrasi yang peneliti berikan diatas menggambarkan bahwasannya ketika perpustakaan berhasil menyediakan varietas informasi yang beragam maka ia akan berdiri sebagai pusat peradaban. Harapan selanjutnya, proses pembelajaran yang manusia lewati takkan pernah mengenal kata usai karena keberadaan perpustakaan. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berproses disetiap fase hidupnya. Proses ini yang kemudian menjadi bahan pembelajaran untuk menggapai level hidup yang lebih baik. Melakukan pembacaan terhadap materi informasi adalah salah satu proses tersebut, bacaan merupakan media penyampaian informasi yang ampuh bagi pembacanya. Melalui bacaan, masyarakat mengenal kata-kata baru yang niscaya akan menambah khazanah pemikiran pembaca. Pengenalan diksi-diksi baru akan mendorong berjalannya naluri dasar manusia untuk mendapatkan informasi yang diinginkannya. Pada proses pencarian ini, manusia akan menemukan jejak-jejak dalam rangka memperoleh makna yang diinginkannya. Namun upaya pencarian tersebut akan selalu tertunda. Dengan tertundanya suatu proses pemaknaan, maka manusia akan terus mencari makna-makna baru untuk memenuhi kebutuhan pengetahuannya. Dan keseluruhan proses tersebut tercipta di dalam institusi perpustakaan.

Dengan jaminan yang sudah disebutkan diatas perpustakaan akan mampu memposisikan dirinya sebagai metronom ilmu pengetahuan. Karena, manusia dibekali dengan naluri untuk selalu memutakhirkan materi informasi yang ia miliki.

————

Catatan akhir:

 

[1] Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 4

[2] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hlm. 12

[3] Proses homogenisasi masyarakat, penghancuran hak-hak individual dan intelektual atas nama sejarah dominan dan fantasi akan masyarakat yang utuh serta higienis. Di titik ini, librisida mencerminkan bahaya atau ancaman kemanusiaan yang serius. Lihat Fernando Báez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013), hlm. xv

 

Daftar Bibliografi

Báez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Jakarta: Marjin Kiri, 2013.

Sulistyo Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005.

Barker, Chris. Cultural Studies: Studi dan Praktek. Yogyakarta: Bentang Perkasa, 2005.

Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *